Nasib Korban Lumpur Lapindo

Jakarta - Korban luapan lumpur Lapindo Brantas mencapai puluhan ribu jiwa yang berasal dari tiga kecamatan di Sidoarjo, Jawa Timur. Banyaknya warga yang menjadi korban tentu menyulitkan proses ganti rugi. Sebab selain jumlah dana yang dikeluarkan sangat besar - hingga lebih dari Rp 6 triliun -, koordinasi terhadap para korban juga mengalami kesulitan. Sebab para korban berasal dari desa yang berbeda-beda, sehingga untuk mencapai satu suara dalam sebuah kesepakatan, bukanlah perkara mudah.

Misalnya soal kesepakatan antara pemerintah, PT Minarak Lapindo, dan seribu warga yang datang ke Jakarta beberapa hari lalu. Dalam pertemuan yang dihadiri Presiden SBY, PT Minarak Lapindo, Kapolri, Menteri Sosial dan utusan warga, telah disepakati bahwa 80% ganti rugi yang belum dibayarkan kepada warga akan dicicil setiap bulan Rp 30 juta. Selain itu warga juga akan mendapat biaya kontrak rumah selama Rp 2,5 juta setahun.

Sudahkah masalah korban lumpur selesai? ternyata belum. Sebab beberapa korban yang mengaku dari Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GPPP), tidak menyetujui kesepakatan baru yang dilansir antara pemerintah, Minarak Lapindo dan korban lumpur dari Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perum TAS) yang menamakan diri Tim 16 itu.

Bahkan GPPP kemudian mendatangi Kedubes Belanda untuk meminta perhatian dari dunia luar. "Kami tidak puas dengan hasil pertemuan kemarin (3/11/2008). Oleh karenanya kami akan melanjutkan perjuangan kami dengan berdemonstrasi di depan Istana," ujar salah satu korban Lapindo dari GPPP, Sumitro, pada detikcom, Kamis (4/12/2008).

Sumitro dan kelompoknya merupakan warga dari empat desa yakni Desa Jatirejo, Siring, Reno Kenongo dan Kedung Bendo, Sidoarjo, Jatim. Mereka tidak menyetujui keputusan PT Minarak Lapindo Jaya yang membayar mereka dengan cara mencicil sebesar Rp 30 juta per bulan dan uang sewa rumah Rp 2,5 juta/tahun.

Yang mereka mau, pemerintah membayar lunas 80% sisa ganti rugi kepada warga terlebih dulu. Nanti, dana yang dialokasikan pemerintah untuk membayar ganti rugi akan dipasok PT Minarak Lapindo dengan cara dicicil.

Munculnya faksi-faksi para korban lumpur bukan perkara baru. Kelompok-kelompok ini muncul seiiring pemberlakuan skema pembayaran terhadap korban. Ada korban yang setuju dengan model yang ditawarkan pemerintah dan PT Minarak Lapindo, ada juga yang keberatan.

Dalam proses penyelesaian masalah ganti rugi terhadap para korban, pemerintah menawarkan skema pembayaran cash and carry yang dibebankan kepada PT Lapindo Brantas. Lapindo harus membayar kerugian tanah dan bangunan korban. 20 Persen kerugian akan dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan kemudian. Lapindo diberi waktu 2 tahun untuk menyicil sisa 80% itu. Selama 2 tahun itu, warga diberi uang untuk mengontrak rumah. Pembayaran dilakukan paling lambat 1 bulan sebelum masa kontrak rumah habis.

Tapi tidak semua warga sepakat dengan skema tersebut. Ada yang menerima skema cash and carry yang diputuskan pemerintah lewat Keppres No 12/2006 Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo itu, ada juga yang menolak. Mereka yang menolak kemudian menamakan diri Pagar Rekontrak, kepanjangan dari Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak.

Rupanya perpecahan tidak sampai di situ. Sebab berikutnya, giliran penerima cash and carry yang terbelah. Ada yang menyetujui skema cash and resettlement, yakni warga akan diberi tanah oleh Lapindo, sedangkan untuk bangunan akan diganti dengan uang. Ada juga juga yang menolak cara seperti itu. Mereka tetap ngotot dengan skema cash and carry.

Selanjutnya yang menuntut cash and carry lagi-lagi terpecah. Ada yang menamakan diri Tim 16 dan ada menamakan diri GPPP. Tim 16 terdiri dari mayoritas warga Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perum TAS). Mereka semua memiliki sertifikat tanah. Sedangkan GPPP, kepanjangan dari Gerakan Pendukung Perpres No 14/2007, terdiri dari sebagian kecil warga Perum TAS dan warga desa yang mayoritas tidak memiliki sertifikat tanah. Bukti kepemilikan tanah yang mereka miliki kebanyakan adalah Letter C atau Patok D.

Kelompok GPPP yang datang ke Jakarta memang tidak banyak, yakni hanya sekitar 70-an orang. Namun mereka sebenarnya mewakili puluhan ribu korban. Sementara kubu Tim 16, meski yang datang 1.000 orang, namun hanya mewakili sekitar 4.000 korban.

Perpecahan yang dialami para korban lumpur diduga karena ada campur tangan kekuatan politik. Tujuannya hanya satu. Kondisi mereka akan dijual demi kepentingan popularitas, apalagi saat ini pemilu sudah dekat.

Sebut saja pengakuan Wisnu warga Perum TAS yang berasal dari Tim 16. Saat ditemui detikcom, ia mengaku sempat ditawari ongkos oleh salah satu parpol. Tapi tawaran itu ada embel-embelnya: mereka harus memakai atribut parpol tertentu.

Bukan hanya utusan parpol yang datang, sejumlah tim sukses dari cagub Jawa Timur yang saat ini sedang bertarung, yakni pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) dan Khofifah-Mudjiono (KaJi), juga ikut-ikutan berebut popularitas dengan 'menjual' para korban. Kedua pasangan disebut-sebut berlomba membiayai para korban yang akan datang ke Jakarta. Kebetulan, dua pasangan ini masih terus bertarung, apalagi akan dilakukan pemilihan ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang sesuai hasil keputusan MK.

Dengan memperhatikan nasib para korban lumpur, mereka berharap bisa mempengaruhi raihan suara dalam pilkada ulang tersebut. Apalagi saat head to head di pilkada putaran pertama, selisih suaranya sangat tipis. Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) mendapatkan 7.729.944, sedangkan Khofifah-Mujiono (Kaji) mendapatkan 7.699.721 suara. Selisihnya hanya 30.223.

Praktis dari selisih suara yang tipis, berapa pun perubahan suara pemilih di pilkada ulang di dua kabupaten bakal mempengaruhi perolehan suara. Itu sebabnya kedua pasangan mencari peluang sekecil apa pun untuk memenangkan pilkada ulang tersebut. Salah satunya dengan mencari citra dengan membantu para korban lumpur.

Keterlibatan "bandar politik" dalam aksi demo para korban lumpur agak masuk akal. Sebab, untuk biaya transpor per orang dari Surabaya ke Jakarta cukup memakan biaya yang cukup banyak, bisa Rp 200 ribu untuk pulang pergi. Belum biaya hidup selama di Jakarta. Bila dihitung, setidaknya biaya yang dibutuhkan per orang Rp 300 ribu - Rp 500 ribu. Kalau dikalikan dengan ribuan orang yang datang, tentu biaya itu bukanlah biaya yang kecil.

Namun dugaan itu dibantah tim sukses kedua pasangan cagub Jawa Timur. Keduanya mengaku, sekalipun sangat peduli dengan warga yang menjadi korban lumpur, mereka tidak pernah mengongkosi para korban yang datang ke Jakarta.

"Sangat tidak mungkin blas. Kami memang sangat peduli terhadap masa depan warga yang jadi korban. Tapi kalau untuk mempolitisasi mereka tidak pernah," jelas Ketua Tim Sukses Pasangan KaJi, Maskur Hashim saat dihubungi detikcom.

Menurut dia, sejauh ini sekalipun pernah bertemu dengan para korban lumpur, itu hanya kebetulan, bukan sebuah pertemuan yang direncanakan. Maskur juga menolak jika timnya telah memberi sangu kepada korban lumpur yang berangkat ke Jakarta.

Bantahan yang sama juga datang dari kubu KarSa. Menurut tim suksesnya, Martono, kubu KarSa tidak pernah memberi uang transpor kepada korban lumpur. Meski demikian mereka sangat mendukung apa yang dilakukan para korban yang meminta ganti rugi.

"Kami gak ada urusannya dengan kedatangan mereka ke Jakarta. Tapi kami mendukung perjuangan mereka, karena ganti rugi itu hak mereka," ujar Martono.

Adanya campur tangan politikus dalam kasus lumpur Lapindo dipastikan bisa membuat masalah korban lumpur Lapindo semakin berlarut-larut. Sebab mereka hanya menjadi komoditas untuk peningkatan citra.


Sumber : Detik.com

0 comments:

Copyright © 2008 - Celoteh Bang Ajib - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template